NIKMATNYA BERPUAS
Dalam tubuh manusia, terdapat segumpal darah. Begitu kata Rasul. Jika ia baik,
baik pula keseluruhannya. Sebaliknya. Jika buruk, buruk pula seluruhnya.
Segumpal darah itu adalah hati.
Dalam bahasa lain, hati adalah qolbun. Disebut qolbun
karena memiliki sifat atau kecenderungan yang berubah-ubah. Terkadang,
mengikuti dorongan id. Pada kali lain, mengikuti apa kata super-ego.
Id adalah dorongan nafsu. Bersifat hewani. Hasratnya tertuju kepada
kesenangan, kemewahan, dan keserakahan. Maklum, digerakkan oleh kekuatan setan.
Sedang super-ego adalah hati nurani. Oleh Imam Ghozali, disebut Nafsu
muthmainnah. Ia bertindak atas dasar akal budi. Akal budi sering mengatur
kehidupan bercorak manusiawi. Ketika id mengajak menyimpang, super-ego bilang:
Jangan. Misalnya, jangan menipu, jangan korupsi, dan jangan semena-mena.
Pergumulan tiada akhir antara id dan superego demikian,
menjelaskan bahwa qolbun manusia, berada di antara tarikan setan
dan Tuhan. Apa yang disukai setan, dibenci Tuhan. Sebaliknya, tindakan yang
sukai Tuhan, dibenci setan. Barangkali hanya satu hal yang sama-sama dibenci
oleh keduanya, yaitu memperkosa anak-anak setan.
Itulah sebabnya, manusia mudah bimbang. Bimbang untuk menentukan pilihan.
Apakah lebih takut ancaman Illahi atau mengikuti dorongan birahi. Apakah
tetap jujur di lingkungan orang-orang yang korup sehingga dijauhi teman, atau
ikut-ikutan korupsi sekalian.
Konflik batin seperti itu berjalan mengikuti edaran waktu. Dari hari ke hari.
Dari bulan ke bulan.
Jika konflik batin dalam kehidupan manusia dilihat dari episode waktu seperti
itu, maka bulan Syakban adalah episode dari suatu puncak pertikaian. Artinya,
pada bulan Syakban itu, manusia harus menentukan pilihan. Ikuti saja dorongan
nafsu setan atau kembali ke garis Tuhan. Jika yang terakhir yang menjadi
pilihan, maka Ramadlan adalah episode peleraian. Pada episode peleraian inilah
sang actor yakni orang-orang yang berpuasa sedang melakukan wisata rohani.
Tujuan akhirnya, menemukan jati diri. Itulah Idul Fitri. Kembali ke fitrahnya
sendiri. Dari titik inilah relasi manusia dengan Tuhannya bertemu, sebagaimana
ungkapan kaum sufi: man arafa nafsahu fa qod arafa rabbahu. Inilah
dictum kenikmatan puasa yang tiada tara.
Tetapi apa yang terjadi? Rupanya, masih banyak orang yang memahami puasa
sebagai bulan pencegahan hasrat badaniah. Puasa lebih dilihat sebagai larangan
makan minum seharian. Termasuk bersebadan.
Celakanya, dalam koredor seperti itu, kita terbiasa dan membiasakan sarapan dan
makan siang. Ketika jadwal makan itu diubah, perut menjadi terkejut. Dalam
keterkejutan seperti itu, nada dasarnya adalah lapar.
Rasa lapar seperti itu, rupanya terespons oleh fa’al. Lantas sebagian shoimin
alias orang yang berpuasa, lebih memilih untuk bermalas-malasan. Lihatlah
masjid dan musholla di siang hari. Di sana, begitu banyak orang
mengfungsikannya untuk bertiduran.
Kok jadi begitu. Kenapa? Kalau ditanya, mungkin mereka berkilah. Naumush
shoim ibadah. Tidurnya orang puasa itu ibadah. Memang tidak salah karena
begitulah bunyi teksnya. Tetapi jika itu yang menjadi pilihan, maka bulan puasa
menjadi bulan penurunan produktivitas. Jika faktanya begitu, lalu kapan orang
Islam bisa maju?
Itulah dampak kalau puasa dilihat dari sisi lahiriahnya: lapar. Lapar yang
disengaja. Rasa lapar seperti itu, dimaksudkan untuk menumbuhkan kepekaan
sosialnya. Menolong antar sesamanya. Dari sinilah Allah mengajarkan makna lapar
lewat bahasa puasa: “Mencintai Aku artinya mencintai makhluk-Ku”.
Jadi, puasa adalah media Tuhan untuk mengajarkan kepada manusia untuk saling
bertolong-menolong dalam kebajikan. Bukan dalam kejahatan. Agama mengajarkan
altruisme seperti kewajiban mengeluarkan zakat fitrah. Untuk apa? Agar hidup
menjadi bermakna. Meaningfull. Bukan meaningless.
Ada kisah dalam Isra’ Mikraj Nabi yang layak dituturkan. Dua orang lelaki, yang
satu adalah seorang abid (ahli ibadah). Terbiasa dan membiasakan sholat
dan berpuasa tetapi menghindar untuk bersedekah. Padahal dia orang berpunya.
Yang satu lagi, boleh dikata, tidak punya amalan kebaikan. Tidak sholat, tidak
pula berpuasa. Tetapi, suatu hari, orang itu memberi minum seekor anjing yang
hampir mati karena kelaparan. Pada pengadilan akhir nanti, siapa lalu yang
dimasukkan surga? Ternyata, bukan yang ahli ibadah tetapi tidak mau
bersedekah. Melainkan lelaki yang menyelamatkan nyawa seekor anjing
yang kelaparan. Orang itu dimasukkan surga karena kepada seekor anjing saja,
ada kepedulian, apalagi dengan sesama insan.
Jadi, rasa lapar ketika berpuasa, seharusnya menjadi bekal agar jiwa ini
terpanggil untuk bersedia menanggulangi kelaparan orang lain. Mengurangi beban
orang lain. Bukan sebaliknya, mempersulit orang lain.
Kalau kita berhasil menangkap pesan-pesan itu, maka bulan puasa menjadi bulan
yang penuh keindahan dan kenikmatan. Bukan saja ketika waktu berbuka telah
tiba, tetapi juga di dalam bulan puasa itu, pahala atas kebajikan
dilipatgandakan; dan dosa terampunkan. Mengapa? Karena – seperti dalam hadits
qudsi – Tuhan berkata: Asyiamu li wa ana ajzi bihi, wal hasanatu bi asyri
amtsaliha. Puasa itu untuk-Ku. Dan Aku yang akan memberi pahala atas
puasanya dengan kelipatan sepuluh kalinya.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar